Laman

Kamis, 16 Maret 2023

 Assalamualaikum...

Sudah tidur beberapa tahun, sepertinya blog ini ingin kembali bangun, dengan menhadirkan informasi yang mungkin dibutuhkan oleh pembaca.

PEKARANGAN PANGAN LESTARI (P2L)

Pemanfaatan pekarangan pada dasarnya merupakan pekerjaan yang Biasa dilakukan oleh masyarakat, karena semua anggota keluarga dapat membantu dan mengelolanya. Pengoptimalan pemanfaatan pekarangan dilakukan melalui upaya pemberdayaan perempuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga.














Foto Kegiatan P2L di KWT Rengganis Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan

Kegiatan P2L dilaksanakan untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga dan mendukung program pemerintah penanganan lokasi prioritas intervensi penurunan stunting. Kegiatan ini dilakukan melalui pemanfaatan lahan pekarangan, lahan tidur dan lahan kosong yang tidak produktif, sebagai penghasil pangan dalam memenuhi pangan dan gizi rumah tangga, serta berorientasi pasar untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga.

Mengingat makin terbatasnya lahan pertanian, maka optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan menjadi salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan penyediaan pangan rumah tangga. Indonesia memiliki potensi lahan pekarangan yang sangat besar, hal ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu penyedia sumber pangan yang bergizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi.rUpaya ini dilakukan dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman sesuai dengan kebutuhan pangan keluarga seperti aneka umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, serta budidaya ternak kecil dan ikan disamping tersedianya sumber pangan karbohidrat, vitamin, mineral. , dan protein bagi keluarga di kawasan pemukiman sehingga menjadi kawasan yang kaya akan sumber pangan produksi sendiri dari optimalisasi pekarangan. Pendekatan pembangunan ini dilakukan dengan mengembangkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), antara lain dengan membangun kebun benih dan mengutamakan sumber daya lokal yang disertai dengan pemanfaatan kearifan lokal (local wisdom) sehingga kelestarian alam tetap terjaga.

Kegiatan P2L dilakukan dalam rangka mendukung program pemerintah untuk penanganan daerah prioritas intervensi stunting atau daerah rawan rawan pangan atau penguatan daerah tahan pangan. Kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep P2L (Pemanfaatan Pangan Lestari) dilakukan dengan pendampingan desa, kecamatan, kabupaten dan Dinas Keamanan Pangan. Selain pemanfaatan pekarangan, juga diarahkan untuk memberdayakan kemampuan kelompok perempuan dalam mengolah pola konsumsi pangan beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA), termasuk kegiatan pengolahan rumah tangga untuk menyediakan pangan yang lebih beragam. 

Optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep P2L terbukti memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, baik bagi anggota kelompok ibu maupun lingkungan sekitarnya. Bagi anggota kelompok perempuan, kegiatan ini dapat memberikan sumbangan pangan untuk konsumsi keluarga, penghematan produksi keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi sehari-hari serta penganekaragaman konsumsi pangan pada anggota rumah tangga. Bagi lingkungan kawasan, kegiatan ini dapat menjadikan suasana asri dan lingkungan menjadi lebih nyaman P2L kebun pangan berkelanjutan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang secara bersama-sama menggarap kebun sebagai sumber pangan secara berkelanjutan, untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas dan pemanfaatan serta pendapatan.

Tujuan dari kegiatan P2L adalah:

  1. Meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan bagi rumah tangga sesuai dengan kebutuhan pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman
  2. Meningkatkan pendapatan rumah tangga melalui penyediaan makanan yang berorientasi pasar.

Untuk mencapai tujuan tersebut, P2L dilakukan melalui pemberdayaan kelompok masyarakat yaitu budidaya berbagai jenis tanaman dengan memanfaatkan pekarangan sekitar rumah, atau lahan kosong yang tidak produktif, melalui pembangunan rumah bibit, demoplot, penanaman dan pasca tanam. panen dan pemasaran. Jika pekarangan ditata dengan baik maka dapat dijadikan sebagai apotek hidup dan juga sebagai tabungan keluarga serta menambah keindahan rumah.

Jumat, 30 Desember 2016

PEMBUATAN MIKRO ORGANISME LOKAL (MOL) DARI BUAH-BUAHAN

MOL ( Mikro Organisme Lokal ) merupakan salah satu cara untuk memanfaatkan bahan-bahan lokal untuk dimanfaatkan menjadi pupuk sehingga tidak merusak lingkungan. MOL merupakan induk untuk membuat pupuk organik. Istilah MOL atau kepanjangannya Mikro Organisme Lokal sudah banyak dikenal. MOL mudah dibuat dan mudah diaplikasikan. Cara dan metode pengembangan MOL pun bermacam-macam


Manfaat Mikro Organisme Lokal

MOL  sering dimanfaatkan untuk budidaya pertanian organik atau semi organik. MOL memiliki banyak kegunaan, seperti:

  1. Dimanfaatkan sebagai POC (Pupuk Organik Cair) 
  2. Dimanfaatkan sebagai dekomposer atau biang kompos untuk pembuatan kompos 
  3. Dimanfaatkan untuk pestisida nabati untuk mengusir hama tanaman 
MOL Buah bermanfaat untuk meningkatkan kualitas buah, yakni meningkatkan daya tahan dan menambah rasa manis, Mol buah juga bermanfaat sebagai dekomposer atau zat pengurai pada proses pembuatan kompos.

Berikut ini salah satu contoh cara membuat MOL dengan memanfaatkan Limbah Buah-buahan yang sudah tidak terpakai.


Bahan:

Limbah Buah-buahan 5 kg
Air Cucian Beras 10 Liter
Air Kelapa 2 Liter
Gula Merah / Glukosa 0,5 Kg

Alat:

Wadah beserta Tutup
Selang Kecil
Botol Plastik
Pengaduk

Cara Pembuatan:

Limbah buah-buahan di cacah guna mempercepat penguraian dan mempermudah saat penyaringan, kemudian dimasukkan ke dalam wadah besar tertutup tambahkan air beras, air kelapa, gula merah yg sudah dihaluskan, aduk semua bahan kemudian tutup wadah tersebut. Tengah tutup wadah dilubangi dan diberi selang, ujung selang satunya dimasukkan dalam botol yang sudah diberi air dan biarkan sampai kira-kira 2 minggu. setelah itu MOL siap digunakan untuk membuat pupuk organik. 



Cara Pengaplikasian:
Setelah 2 minggu Sebelum MOL digunakan, terlebih dahulu disaring guna mempermudah pengaplikasian dilapangan, 200 cc MOL di tambah 15 Liter Air, Semprotkan ke bagian tanamn dan tanah sesaat sebelum tanaman berbuah. untuk hasil maksimal aplikasikan 3 hari sekali.

Selamat Mencoba dan Semoga Bermanfaat

Rabu, 27 Maret 2013

MASTITIS PADA SAPI PERAH



Radang ambing (mastitis) pada sapi perah merupakan radang yang bisa bersifat akut, subakut maupun kronis, yang ditandai oleh kenaikan sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai patologis pada kelenjar mammae.
            Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Streptococcus agalactiae (Str. Agalactiae) merupakan bakteri  penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat penurunan produkai susu. Berdasarkan uji sensitifitas terhadap berbagai antibiotik diketahui bahwa sebagian besar S. aureus telah resisten terhadap oksasilin (87,5%) dan eritromisin (71,97%) dan ada beberapa isolate yang juga resisten terhadap tetrasiklin (37,46%), ampisillin (25%) dan gentamisin (21,87%) (Salasia dkk, 2005).
            Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting (sphincter puting). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi kuman. Pada dasarnya, kelenjar mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan, sehingga air susu tetap steril. Perangkat pertahanan yang dimiliki oleh kelenjar mammae, antara lain : perangkat pertahanan mekanis, seluler dan perangkat pertahanan yang tidak tersifat (non spesifik).
            Tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai titik terendah saat sesudah pemerahan, karena sphincter  masih terbuka  beberapa saat, sel darah putih,  antibodi serta  enzim juga habis, ikut terperah.                   
            Pencegahan terhadap mastitis ditempuh melalui  dipping  puting sehabis pemerahan dengan antiseptika, antara lain: alkohol 70 %, Chlorhexidine 0,5%, kaporit 4% dan Iodophor 0,5 – 1% (Subronto dan Tjahadjati, 2001).
            Sebagaimana antibiotik, antiseptika juga bisa menyebabkan resistensi bakteri, sehingga perlu dipikirkan alternatif pemecahan guna mengatasi mastitis dengan antibiotik alami yang diekstrak dari tanaman, seperti Aloe barbadensis Miller, yang aman, tanpa menimbulkan resistensi bakteri dan residu antibiotik dalam susu, baik sebagai olesan pada puting maupun bentuk infusi intramammae.    
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan  perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa pada sapi, mastitis sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis kuman.
            Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu,  kualitas dan  kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri sapi perah.   
Faktor Penyebab Mastitis
Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau domba bersifat menurun. Gen- gen yang menurun akan menentukan ukuran dan  struktur puting (Swartz, et al., 2006)      
Sori et al (2005) menyatakan bahwa  saat periode kering adalah saat awal  kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing.
Dinyatakan lebih lanjut oleh Akoso (1996), bahwa berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain : Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Ditambahkan oleh Swartz (2006) bahwa yeast dan  fungi juga sering menginfeksi ambing, namun biasanya menyebabkan mastitis subklinis.
Hasil penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan susu dengan metode CMTdari 180 ekor  sapi perah lokal Zebu dan persilangan,  prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor (16,11%) merupakan mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis subklinis.    
Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu (Salasia dkk., 2005).
Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak,  meliputi : bentuk ambing, misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar (Subronto, 2003).
Bentuk  puting,  ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al (2005)  menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%.     
Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya.  Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06%  (Sori et al., 2005)
Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna (Subronto, 2003).
Faktor bangsa sapi bisa mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan oleh Sori et al ( 2005), bahwa kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih besar dari pada sapi lokal.
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi : pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi jelek, mastitis mencapai 87,5%, ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Sori et al., 2005).
Staphylococcus aureus
            Brooks (2005), menyatakan bahwa Staphylococcus adalah bakteri gram positif, bentuk kokus dengan susunan berpasangan atau bergerombol, seperti anggur. Bersifat aerobik atau anaerobik fakultatif, katalase positif, oksidase negatif, bersifat non motil, tidak membentuk spora.  Staphylococcus tumbuh dengan cepat pada beberapa tipe media dan aktif melakukan metabolisme serta melakukan fermentasi karbohidrat. Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam pigmen, dari warna putih hingga kuning gelap.
            Staphylococcus aureus mayoritas ditemukan di berbagai tempat pada tubuh ternak, antara lain : kelenjar mammae yang terinfeksi, saluran puting, lesi-lesi pada puting, kulit puting, vagina, cekung hidung dan moncong. Pada kulit puting yang sehat, tidak ditemukan bakteri ini, tetapi bakteri ini mudah masuk ke saluran puting lewat luka dekat puting. Organisme ini bermultiplikasi pada lesi-lesi, berkolonisasi dalam saluran puting dan memasuki kelenjar mammae (Jones, 1998).
            Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab utama mastitis pada sapi dan kejadian mastitis sering diasosiasikan dengan infeksi S. aureus. Bakteri ini sering menyebabkan mastitis subklinis dan kronis. Diantara 56 ekor sapi perah di peternakan sapi perah Baturaden, 41 ekor (73,2%) menderita mastitis subklinis dan 9,1 % diantaranya disebabkan oleh S. aureus (Salasia dkk., 2005). Ditambahkan oleh Wahyuni dkk (2005), bahwa kejadian mastitis subklinis di Indonesia sangat tinggi, yaitu sebesar 95-98% dan banyak menimbulkan kerugian.
            Staphylococcus yang patogen sering menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma dan menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler dan toksin. Staphylococcus  cepat menjadi resisten terhadap beberapa antimikroba dan hal ini merupakan masalah besar pada terapi (Brooks,  2005).

Gejala Klinis
            Subronto (2003) menyatakan bahwa secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, seperti : pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae.
Cara penularan
            Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari  kuarter terinfeksi ke kuarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat (Jones, 1998).
Diagnosis
            Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus (Akoso, 1996). Subronto (2003) menambahkan diagnosis mastitis bisa dilakukan dengan Whiteside Test.
Kontrol
            Jones (1998) mengemukakan bahwa guna mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain :
  • Meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting.
  • Air susu pancaran pertama saat pemerahan ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan (Sutarno, 2000). 
  • Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan β-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.
Pengobatan
            Lay dan Hastowo (2000) menyatakan bahwa sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap penicillin disebabkan oleh adanya β- laktamase yang akan menguraikan cincin β- laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan : Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol.
            Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan (Swartz, 2006)
            Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin (Sori et al., 2005)
            Dinyatakan oleh Wall (2006), bahwa strategi efektif untuk mencegah dan mengatasi mastitis yang disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih sukar dipahami. Dilaporkan oleh Soeripto (2002), bahwa bakteri Staphylococcus sp dan Streptococcus sp yang diisolasi dari kasus mastitis sapi telah banyak yang multi resisten terhadap beberapa antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi mastitis juga telah banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu mengandung residu antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
            Dilaporkan oleh Wahyuni dkk (2005), bahwa akibat penggunaan antibiotik pada setiap kasus mastitis, yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi pengolahan susu. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri gram positif juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya pencegahan dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri.
            Middleton dan Foxt (2001) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammaria dengan  120 ml,  5%  Povidone-Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembali pada laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5 ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi dengan Chlorhexidine  ternyata mengandung residu antibiotik.

Penafsiran Umur Ternak Kambing dan Domba

Menaksir usia domba merupakan salah satu pengetahuan yang harus dikuasai oleh petani-peternak. Besar kecilnya tubuh domba tidak dapat dijadikan patokan. Karena bisa saja domba yang sudah tua tetap kecil badannya karena pemeliharaan yang buruk atau karena penyakit sehingga kelihatan domba muda (Murtidjo, 1993).
Menurut Mathius, dkk. (1989) pada ternak domba ada beberapa cara untuk memperkirakan umur antara lain :
1.  Dengan mencatat tanggal lahir.

Dengan mencatat tanggal lahir maka umur ternak yang bersangkutan dapat diketahui oleh karena itu sebaiknya peternak mencatat tanggal lahir ternaknya pada buku cerpen atau pada dinding kandang untuk mengetahui ternak yang mana yang dicatat tanggal lahirnya ternak yang bersangkutan diberi tanda. 

2.  Dengan melihat keadaan gigi seri.

Ternak ruminansia termasuk domba tidak mempunyai gigi taring. Gigi seripun hanya terdapat pada rahang bawah. Sedangkan rahang atas hanyalah berupa bantalan tenunan pengikat yang kuat. Gigi geraham terdapat pada kedua rahang. Jumlah gigi seri ada 4 pasang (8 buah) geraham depan 12 buah dan geraham belakang ada 12 buah. Jadi jumlah gigi domba yang lengkap ada 32 buah. Gigi seri yang tumbuh pada umur muda disebut gigi seri susu. Gigi susu ini kecil dan agak tajam serta tumbuhnya agak renggang satu sama lain. Gigi seri susu ini sifatnya hanya sementara. Karena pada suatu saat akan tanggal (rontok) dan digantikan dengan gigi seri tetap. Pergantian  gigi seri susu dan gigi seri tetap ini yang digunakan untuk menaksir umur ternak. Sedangkan pada ternak tua ditaksir berdasarkan keausan gigi seri ini, berhubungan dengan kondisi pakan. Ternak yang dilepas/diangon, gigi serinya relatif lebih cepat tanggal atau aus dari pada tenrak yang dikandangkan. Menentukan umur ternak domba kurang dari 1 tahun jumlah gigi seri tetap belum ada. Namun memiliki gigi susu. Sepasang gigi tetap (sebanyak 2 buah) umur ternak domba kurang lebih 1 sampai dengan 2 tahun. Dua pasang gigi tetap (4 buah gigi tetap) menandakan umur tersebut 2-3 tahun. Juga pasang gigi tetap (6 buah) berumur 3-4 tahun. Jika ternak memiliki empat pasan ggigi tetap (8 buah) harus berumur 4-5 tahun. Tetapi jika gigi tetap aus dan mulai lepas maka ternak tersebut berumur diatas 5 tahun...

Minggu, 16 Oktober 2011

BUDIDAYA LELE SANGKURIANG (Clarias sp)

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air Tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan 1) dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, 2) teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, 3) pemasarannya relatif mudah dan 4) modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah.Pengembangan usaha budidaya ikan lele semakin meningkat setelah masuknya jenis ikan lele dumbo ke Indonesia pada tahun 1985. Keunggulan lele dumbo dibanding lele lokal antara lain tumbuh lebih cepat, jumlah telur lebih banyak dan lebih tahan terhadap penyakit.Namun demikian perkembangan budidaya yang pesat tanpa didukung pengelolaan induk yang baik menyebabkan lele dumbo mengalami penurunan kualitas. Hal ini karena adanya perkawinan sekerabat (inbreeding), seleksi induk yang salah atas penggunaan induk yang berkualitas rendah. Penurunan kualitas ini dapat diamati dari karakter umum pertama matang gonad, derajat penetasan telur, pertumbuhan harian, daya tahan terhadap penyakit dan nilai FCR (Feeding Conversion Rate).Sebagai upaya perbaikan mutu ikan lele dumbo BBAT Sukabumi telah berhasil melakukan rekayasa genetik untuk menghasilkan lele dumbo strain baru yang diberi nama lele "Sangkuriang".Seperti halnya sifat biologi lele dumbo terdahulu, lele Sangkuriang tergolong omnivora. Di alam ataupun lingkungan budidaya, ia dapat memanfaatkan plankton, cacing, insekta, udang-udang kecil dan mollusca sebagai makanannya. Untuk usaha budidaya, penggunaan pakan komersil (pellet) sangat dianjurkan karena berpengaruh besar terhadap peningkatan efisiensi dan produktivitas.Tujuan pembuatan Petunjuk Teknis ini adalah untuk memberikan cara dan teknik pemeliharaan ikan lele dumbo strain Sangkuriang yang dilakukan dalam rangka peningkatan produksi Perikanan untuk meningkatkan ketersediaan protein hewani dan tingkat konsumsi ikan bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan keunggulan lele dumbo hasil perbaikan mutu dan sediaan induk yang ada di BBAT Sukabumi, maka lele dumbo tersebut layak untuk dijadikan induk dasar yaitu induk yang dilepas oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan telah dilakukan diseminasi kepada instansi/pembudidaya yang memerlukan. Induk lele dumbo hasil perbaikan ini, diberi nama "Lele Sangkuriang". Induk lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6). Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi yang berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia tahun 1985. Sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang ada di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. Induk dasar yang didiseminasikan dihasilkan dari silang balik tahap kedua antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan hasil silang balik tahap pertama (F2 6).Budidaya lele Sangkuriang dapat dilakukan di areal dengan ketinggian 1 m - 800 m dpi. Persyaratan lokasi, baik kualitas tanah maupun air tidak terlalu spesifik, artinya dengan penggunaan teknologi yang memadai terutama pengaturan suhu air budidaya masih tetap dapat dilakukan pada lahan yang memiliki ketinggian diatas >800 m dpi. Namun bila budidaya dikembangkan dalam skala massal harus tetap memperhatikan tata ruang dan lingkungan sosial sekitarnya artinya kawasan budidaya yang dikembangkan sejalan dengan kebijakan yang dilakukan Pemda setempat.Budidaya lele, baik kegiatan pembenihan maupun pembesaran dapat dilakukan di kolam tanah, Bak tembok atau bak plastik. Budidaya di bak tembok dan bak plastik dapat memanfaatkan lahan pekarangan ataupun lahan marjinal lainnya.Sumber air dapat menggunakan aliran irigasi, air sumu (air permukaan atau sumur dalam), ataupun air hujan yan sudah dikondisikan terlebih dulu. Parameter kualitas air yan baik untuk pemeliharaan ikan lele sangkuriang adalah sebagai berikut:a. Suhu air yang ideal untuk pertumbuhan ikan lele berkisar antara 22-32�C. Suhu air akan mempengaruhi laju pertumbuhan, laju metabolisme ikan dan napsu makan ikan serta kelarutan oksigen dalam air. b. pH air yang ideal berkisar antara 6-9. c. Oksigen terlarut di dalam air harus > 1 mg/l. Budidaya ikan lele Sangkuriang dapat dilakukan dalam bak plastik, bak tembok atau kolam tanah. Dalam budidaya ikan lele di kolam yang perlu diperhatikan adalah pembuatan kolam, pembuatan pintu pemasukan dan pengeluaran air.Bentuk kolam yang ideal untuk pemeliharaan ikan lele adalah empat persegi panjang dengan ukuran 100-500 m2. Kedalaman kolam berkisar antara 1,0-1,5 m dengan kemiringan kolam dari pemasukan air ke pembuangan 0,5%. Pada bagian tengah dasar kolam dibuat parit (kamalir) yang memanjang dari pemasukan air ke pengeluaran air (monik). Parit dibuat selebar 30-50 cm dengan kedalaman 10-15 cm.Sebaiknya pintu pemasukan dan pengeluaran air berukuran antara 15-20 cm. Pintu pengeluaran dapat berupa monik atau siphon. Monik terbuat dari semen atau tembok yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian kotak dan pipa pengeluaran. Pada bagian kotak dipasang papan penyekat terdiri dari dua lapis yang diantaranya diisi dengan tanah dan satu lapis saringan. Tinggi papan disesuaikan dengan tinggi air yang dikehendaki. Sedangkan pengeluaran air yang berupa siphon lebih sederhana, yaitu hanya terdiri dari pipa paralon yang terpasang didasar kolam dibawah pematang dengan bantuan pipa berbentuk "L" mencuat ke atas sesuai dengan ketinggian air kolam.Saringan dapat dipasang pada pintu pemasukan dan pengeluaran agar ikan-ikan jangan ada yang lolos keluar/masuk.Pelaksanaan BudidayaSebelum benih ikan lele ditebarkan di kolam pembesaran, yang perlu diperhatikan adalah tentang kesiapan kolam meliputi:a. Persiapan kolam tanah (tradisional) � Pengolahan dasar kolam yang terdiri dari pencangkulan atau pembajakan tanah dasar kolam dan meratakannya. Dinding kolam diperkeras dengan memukul-mukulnya dengan menggunakan balok kayu agar keras dan padat supaya tidak terjadi kebocoran. Pemopokan pematang untuk kolam tanah (menutupi bagian-bagian kolam yang bocor). � Untuk tempat berlindung ikan (benih ikan lele) sekaligus mempermudah pemanenan maka dibuat parit/kamalir dan kubangan (bak untuk pemanenan). � Memberikan kapur ke dalam kolam yang bertujuan untuk memberantas hama, penyakit dan memperbaiki kualitas tanah. Dosis yang dianjurkan adalah 20-200 gram/m2, tergantung pada keasaman kolam. Untuk kolam dengan pH rendah dapat diberikan kapur lebih banyak, juga sebaliknya apabila tanah sudah cukup baik, pemberian kapur dapat dilakukan sekedar untuk memberantas hama penyakit yang kemungkinan terdapat di kolam. � Pemupukan dengan kotoran ternak ayam, berkisar antara 500-700 gram/m2; urea 15 gram/m2; SP3 10 gram/m2; NH4N03 15 gram/m2. Pada pintu pemasukan dan pengeluaran air dipasang penyaring Kemudian dilakukan pengisian air kolam. Kolam dibiarkan selama � 7 (tujuh) hari, guna memberi kesempatan tumbuhnya makanan alami. b. Persiapan kolam tembok Persiapan kolam tembok hampir sama dengan kolam tanah. Bedanya, pada kolam tembok tidak dilakukan pengolahan dasar kolam, perbaikan parit dan bak untuk panen, karena parit dan bak untuk panen biasanya sudah dibuat Permanen. c. Penebaran Benih Sebelum benih ditebarkan sebaiknya benih disuci hamakan dulu dengan merendamnya didalam larutan KM5N04 (Kalium permanganat) atau PK dengan dosis 35 gram/m2 selama 24 jam atau Formalin dengan dosis 25 mg/l selama 5-10 menit. Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari atau pada saat udara tidak panas. Sebelum ditebarkan ke kolam, benih diaklimatisasi dulu (perlakuan penyesuaian suhu) dengan cara memasukan air kolam sedikit demi sedikit ke dalam wadah pengangkut benih. Benih yang sudah teraklimatisasi akan dengan sendirinya keluar dari kantong (wadah) angkut benih menuju lingkungan yang baru yaitu kolam. Hal ini berarti bahwa perlakuan tersebut dilaksanakan diatas permukaan air kolam dimana wadah (kantong) benih mengapung diatas air. Jumlah benih yang ditebar 35-50 ekor/m2 yang berukuran 5-8 cm. d. Pemberian Pakan Selain makanan alami, untuk mempercepat pertumbuhan ikan lele perlu pemberian makanan tambahan berupa pellet. Jumlah makanan yang diberikan sebanyak 2-5% perhari dari berat total ikan yang ditebarkan di kolam. Pemberian pakan frekuensinya 3-4 kali setiap hari. Sedangkan komposisi makanan buatan dapat dibuat dari campuran dedak halus dengan ikan rucah dengan perbandingan 1:9 atau campuran dedak halus, bekatul, jagung, cincangan bekicot dengan perbandingan 2:1:1:1 campuran tersebut dapat dibuat bentuk pellet. e. Pemanenan Ikan lele Sangkuriang akan mencapai ukuran konsumsi setelah dibesarkan selama 130 hari, dengan bobot antara 200 - 250 gram per ekor dengan panjang 15 - 20 cm. Pemanenan dilakukan dengan cara menyurutkan air kolam. Ikan lele akan berkumpul di kamalir dan kubangan, sehingga mudah ditangkap dengan menggunakan waring atau lambit. Cara lain penangkapan yaitu dengan menggunakan pipa ruas Bambu atau pipa paralon/bambu diletakkan didasar kolam, pada waktu air kolam disurutkan, ikan lele akan masuk kedalam ruas bambu/paralon, maka dengan mudah ikan dapat ditangkap atau diangkat. Ikan lele hasil tangkapan dikumpulkan pada wadah berupa ayakan/happa yang dipasang di kolam yang airnya terus mengalir untuk diistirahatkan sebelum ikan-ikan tersebut diangkut untuk dipasarkan.Pengangkutan ikan lele dapat dilakukan dengan menggunakan karamba, pikulan ikan atau jerigen plastik yang diperluas lubang permukaannya dan dengan jumlah air yang sedikit. Proses Produksi pada kegiatan pembesaran disajikan Tabel 1. Tabel 1Proses pembesaran lele Sangkuriang di bak tembok. Kriteria Satuan Pembesaran Ukuran Tanaman - Umur hari 40 - panjang cm 4 - 8 - bobot gram 4- 6 Ukuran Panen - Umur hari 130 - panjang cm 15 - 20 - bobot gram 125 - 200 Sintasan % 80-90 Padat Tebar Ekor/m2 50-75 Pakan - Tingkat Pemberian % bobot 3 - Frekuensi Pemberian kali/hari 3 Tingkat Konversi Pakan 0,8 - 1,2 Kegiatan budidaya lele Sangkuriang di tingkat pembudidaya sering dihadapkan pada permasalahan timbulnya penyakit atau kematian ikan. Pada kegiatan pembesaran, penyakit banyak ditimbulkan akibat buruknya penanganan kondisi lingkungan. Organisme predator yang biasanya menyerang antara lain ular dan belut. Sedangkan organisme pathogen yang sering menyerang adalah Ichthiophthirius sp., Trichodina sp., Monogenea sp. dan Dactylogyrus sp.Penanggulangan hama insekta dapat dilakukan dengan pemberian insektisida yang direkomendasikan pada saat pengisian air sebelum benih ditanam. Sedangkan penanggulangan belut dapat dilakukan dengan pembersihan pematang kolam dan pemasangan plastik di sekeliling kolam.Penanggulangan organisme pathogen dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan budidaya yang baik dan pemberian pakan yang teratur dan mencukupi. Pengobatan dapat menggunakan obat-obatan yang direkomendasikan.Pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan melakukan persiapan kolam dengan baik. Pada kegiatan budidaya dengan menggunakan kolam tanah, persiapan kolam meliputi pengeringan, pembalikan tanah, perapihan pematang, pengapuran, pemupukan, pengairan dan pengkondisian tumbuhnya plankton sebagai sumber pakan. Pada kegiatan budidaya dengan menggunakan bak tembok atau bak plastik, persiapan kolam meliputi pengeringan, disenfeksi (bila diperlukan), pengairan dan pengkondisian tumbuhnya plankton sebagai sumber pakan. Perbaikan kondisi air kolam dapat pula dilakukan dengan penambahan bahan probiotik.Untuk menghindari terjadinya penularan penyakit, maka hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:� Pindahkan segera ikan yang memperlihatkan gejala sakit dan diobati secara terpisah. Ikan yang tampak telah parah sebaiknya dimusnahkan.� Jangan membuang air bekas ikan sakit ke saluran air.� Kolam yang telah terjangkit harus segera dikeringkan dan dilakukan pengapuran dengan dosis 1 kg/5 m2. Kapur (CaO) ditebarkan merata didasar kolam, kolam dibiarkan sampai tanah kolam retak-retak.� Kurangi kepadatan ikan di kolam yang terserang penyakit.� Alat tangkap dan wadah ikan harus dijaga agar tidak terkontaminasi penyakit. Sebelum dipakai lagi sebaiknya dicelup dulu dalam larutan Kalium Permanganat (PK) 20 ppm (1 gram dalam 50 liter air) atau larutan kaporit 0,5 ppm (0,5 gram dalam 1 m3 air).� Setelah memegang ikan sakit cucilah tangan kita dengan larutan PK� Bersihkan selalu dasar kolam dari lumpur dan sisa bahan organik� Usahakan agar kolam selalu mendapatkan air segar atau air baru.� Tingkatkan gizi makanan ikan dengan menambah vitamin untuk menambah daya tahan ikan. ANALISA USAHA Pembesaran lele Sangkuriang di bak plastik1. Investasi a. Sewa lahan 1 tahun @ Rp 1.000.000,- = Rp 1.000.000,- b. Bak kayu lapis plastik 3 unit @ Rp 500.000,- = Rp 1.500.000,- c. Drum plastik 5 buah @ Rp 150.000,- = Rp 750.000,- Rp 3.250.000,- 2. Biaya Tetap a. Penyusutan lahan Rp 1.000.000,-/1 thn = Rp 1.000.000,- b. Penyusutan bak kayu lapis plastik Rp 1.500.000,-/2 thn = Rp 750.000,- c. Penyusutan drum plastik Rp 750.000,-/5 thn = Rp 150.000,- Rp 1.900.000,- 3. Biaya Variabel a. Pakan 4800 kg @ Rp 3700 = Rp 17.760.000,- b. Benih ukuran 5-8 cm sebanyak 25.263 ekor @ Rp 80,- = Rp 2.021.052,63 c. Obat-obatan 6 unit @ Rp 50.000,- = Rp 300.000,- d. Alat perikanan 2 paket @ Rp 100.000,- = Rp 200.000,- e. Tenaga kerja tetap 12 OB @ Rp 250.000,- = Rp 3.000.000,- f. Lain-lain 12 bin @ Rp 100.000,- = Rp 1.200.000,- Rp 24.281.052,63 4. Total Biaya Biaya Tetap + Biaya Variabel = Rp 1.900.000,- + Rp 24.281.052,63 = Rp 26.181.052,63 5. Produksi lele konsumsi 4800 kg x Rp 6000/kg -Rp 28.800.000, 6. Pendapatan Produksi - (Biaya tetap + Biaya Variabel) = Rp 28.800.000,- - ( Rp 1.900.000,- + Rp 24.281.052,63) = Rp 2.418.947,37 7. Break Event Point (BEP) Volume produksi = 4.396,84 kg Harga produksi = Rp 5.496,05 Sumber :Buku Budidaya Lele Sangkuriang, Dit. Pembudidayaan, Ditjen Perikanan Budidaya

BUDIDAYA SAPI PERAH


1.    SEJARAH SINGKAT
       Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit. Sapi berasal dari famili Bovidae. seperti halnya bison, banteng, kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan anoa.

Domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-19, sapi Ongole dari India dimasukkan ke pulau Sumba dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan tempat pembiakan sapi Ongole murni.

Pada tahun 1957 telah dilakukan perbaikan mutu genetik sapi Madura dengan jalan menyilangkannya dengan sapi Red Deen. Persilangan lain yaitu antara sapi lokal (peranakan Ongole) dengan sapi perah Frisian Holstein di Grati guna diperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim dan kondisi di Indonesia.

2.    SENTRA PETERNAKAN
       Sentra peternakan sapi di dunia ada di negara Eropa (Skotlandia, Inggris, Denmark, Perancis, Switzerland, Belanda), Italia, Amerika, Australia, Afrika dan Asia (India dan Pakistan). Sapi Friesian Holstein misalnya, terkenal dengan produksi susunya yang tinggi (+ 6350 kg/th), dengan persentase lemak susu sekitar 3-7%. Namun demikian sapi-sapi perah tersebut ada yang mampu berproduksi hingga mencapai 25.000 kg susu/tahun, apabila digunakan bibit unggul, diberi pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak, lingkungan yang mendukung dan menerapkan budidaya dengan manajemen yang baik. Saat ini produksi susu di dunia mencapai 385 juta m2/ton/th, khususnya pada zone yang beriklim sedang. Produksi susu sapi di PSPB masih kurang dari 10 liter/hari dan jauh dari standar normalnya 12 liter/hari (rata-ratanya hanya 5-8 liter/hari).

3.    J E N I S
       Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia ada dua, yaitu (1) kelompok yang berasal dari sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi yang berpunuk, yang berasal dan tersebar di daerah tropis serta (2) kelompok dari Bos primigenius, yang tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal dengan Bos Taurus.

Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi Shorhorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark) dan Droughtmaster (dari Australia).

Hasil survei di PSPB Cibinong menunjukkan bahwa jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Frisien Holstein.

4.    MANFAAT
       Peternakan sapi menghasilkan daging sebagai sumber protein, susu, kulit yang dimanfaatkan untuk industri dan pupuk kandang sebagai salah satu sumber organik lahan
pertanian.

5.    PERSYARATAN LOKASI
       Lokasi yang ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk tetapi mudah dicapai oleh kendaraan. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang serta dekat dengan lahan pertanian. Pembuatannya dapat dilakukan secara berkelompok di tengah sawah atau ladang.

6.    PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
            6.1.      Penyiapan Sarana dan Peralatan
Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya dibuat jalur untuk jalan.

Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan (kereman) biasanya berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang dipelihara hanya sedikit. Namun, apabila kegiatan penggemukan sapi ditujukan untuk komersial, ukuran kandang harus lebih luas dan lebih besar sehingga dapat menampung jumlah sapi yang lebih banyak.

Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat.

Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahanbahan lainnya.

Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5x2 m atau 2,5x2 m, sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8x2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5x1 m per ekor, dengan tinggi atas + 2-2,5 m dari tanah. Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C) dan kelembaban 75%. Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m).

6.2.      Pembibitan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bibit sapi perah betina dewasa adalah: (a) produksi susu tinggi, (b) umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah beranak, (c) berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai eturunan produksi susu tinggi, (d) bentuk tubuhnya seperti baji, (e) matanya bercahaya, punggung lurus, bentuk kepala baik, jarak kaki depan atau kaki belakang cukup lebar serta kaki kuat, (f) ambing cukup besar, pertautan pada tubuh cukup baik, apabila diraba lunak, kulit halus, vena susu banyak, panjang dan berkelokkelok, puting susu tidak lebih dari 4, terletak dalam segi empat yang simetris dan tidak terlalu pendek, (g) tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit menular, dan (h) tiap tahun beranak.

Sementara calon induk yang baik antara lain: (a) berasal dari induk yang menghasilkan air susu tinggi, (b) kepala dan leher sedikit panjang, pundak tajam, badan cukup panjang, punggung dan pinggul rata, dada dalam dan pinggul lebar, (c) jarak antara kedua kaki belakang dan kedua kaki depan cukup lebar, (d) pertumbuhan ambing dan puting baik, (e) jumlah puting tidak lebih dari 4 dan letaknya simetris, serta (f) sehat dan tidak cacat.

Pejantan yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) umur sekitar 4- 5 tahun, (b) memiliki kesuburan tinggi, (c) daya menurunkan sifat produksi yang tinggi kepada anak-anaknya, (d) berasal dari induk dan pejantan yang baik, (e) besar badannya sesuai dengan umur, kuat, dan mempunyai sifat-sifat pejantan yang baik, (f) kepala lebar, leher besar, pinggang lebar, punggung kuat, (g) muka sedikit panjang, pundak sedikit tajam dan lebar, (h) paha rata dan cukup terpisah, (i) dada lebar dan jarak antara tulang rusuknya cukup lebar, (j) badan panjang, dada dalam, lingkar dada dan lingkar perut besar, serta (k) sehat, bebas dari penyakit menular dan tidak menurunkan cacat pada keturunannya.
1) Pemilihan bibit dan calon induk
Untuk mengejar produktivitas ternak yang tinggi, diperlukan perbaikan lingkungan hidup dan peningkatan mutu genetik ternak yang bersangkutan.
Bibit yang baru datang harus dikarantina untuk penularan penyakit. Kemudian bibit diberi minum air yang dicampur garam dapur, ditempatkan dalam kandang yang bersih dan ditimbang serta dicatat penampilannya.
2) Perawatan bibit dan calon induk
Seluruh sapi perah dara yang belum menunjukkan tanda-tanda birahi atau belum bunting setelah suatu periode tertentu, harus disisihkan. Jika sapi yang disisihkan tersebut telah menghasilkan susu, sapi diseleksi kembali berdasarkan produksi susunya, kecenderungan terkena radang ambing dan temperamennya.
3) Sistim Pemuliabiakan
Seringkali sapi perah dara dikawinkan dengan pejantan pedaging untuk mengurangi risiko kesulitan lahir dan baru setelah menghasilkan anak satu dikawinkan dengan pejantan sapi perah pilihan. Bibit harus diberi kesempatan untuk bergerak aktif paling tidak 2 jam setiap hari.

6.3.      Pemeliharaan
  1. Sanitasi dan Tindakan Preventif
    Pada pemeliharaan secara intensif sapi-sapi dikandangkan sehingga peternak mudah mengawasinya, sementara pemeliharaan secara ekstensif pengawasannya sulit dilakukan karena sapi-sapi yang dipelihara dibiarkan hidup bebas. Sapi perah yang dipelihara dalam naungan (ruangan) memiliki konsepsi produksi yang lebih tinggi (19%) dan produksi susunya 11% lebih banyak daripada tanpa naungan. Bibit yang sakit segera diobati karena dan bibit yang menjelang beranak dikering kandangkan selama 1-2 bulan.
  2. Perawatan Ternak
    Ternak dimandikan 2 hari sekali. Seluruh sapi induk dimandikan setiap hari setelah kandang dibersihkan dan sebelum pemerahan susu. Kandang harus dibersihkan setiap hari, kotoran kandang ditempatkan pada penampungan khusus sehingga dapat diolah menjadi pupuk. Setelah kandang dibersihkan, sebaiknya lantainya diberi tilam sebagai alas lantai yang umumnya terbuat dari jerami atau sisa-sisa pakan hijauan (seminggu sekali tilam tersebut harus dibongkar).

    Penimbangan dilakukan sejak sapi pedet hingga usia dewasa. Sapi pedet ditimbang seminggu sekali sementara sapi dewasa ditimbang setiap bulan atau 3 bulan sekali. Sapi yang baru disapih ditimbang sebulan sekali. Sapi dewasa dapat ditimbang dengan melakukan taksiran pengukuran berdasarkan lingkar dan lebar dada, panjang badan dan tinggi pundak.
  3. Pemberian Pakan
    Pemberian pakan pada sapi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
a)   sistem penggembalaan (pasture fattening)
b)   kereman (dry lot fattening)
c0  kombinasi cara pertama dan kedua.
  1. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang berupa jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro, alfalfa, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja. Hijauan diberikan siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB.
    Sapi yang sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis kacang-kacangan (legum).
    Sumber karbohidrat berupa dedak halus atau bekatul, ampas tahu, gaplek, dan bungkil kelapa serta mineral (sebagai penguat) yang berupa garam dapur, kapur, dll. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya diberikan pada pagi hari dan sore hari sebelum sapi diperah sebanyak 1-2 kg/ekor/hari.
    Selain makanan, sapi harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan per hari.
    Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan secara kereman dikombinasikan dengan penggembalaan Di awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat kakinya.
5.      Pemeliharaan Kandang
Kotoran ditimbun di tempat lain agar mengalami proses fermentasi (+1-2 minggu) dan berubah menjadi pupuk kandang yang sudah matang dan baik. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat (agak terbuka) agar sirkulasi udara didalamnya berjalan lancar.
Air minum yang bersih harus tersedia setiap saat. Tempat pakan dan minum sebaiknya dibuat di luar kandang tetapi masih di bawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak atau tercampur dengan kotoran. Sementara tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi daripada permukaan lantai. Sediakan pula peralatan untuk memandikan sapi.


7.    HAMA DAN PENYAKIT
            7.1.      Penyakit
1.  Penyakit antraks
Penyebab: Bacillus anthracis yang menular melalui kontak langsung, makanan/minuman atau pernafasan.
Gejala: (1) demam tinggi, badan lemah dan gemetar; (2) gangguan pernafasan; (3) pembengkakan pada kelenjar dada, leher, alat kelamin dan badan penuh bisul; (4) kadang-kadang darah berwarna merah hitam yang keluar melalui hidung, telinga, mulut, anus dan vagina; (5) kotoran ternak cair dan sering bercampur darah; (6) limpa bengkak dan berwarna kehitaman.
Pengendalian: vaksinasi, pengobatan antibiotika, mengisolasi sapi yang terinfeksi serta mengubur/membakar sapi yang mati.
2.  Penyakit mulut dan kuku (PMK) atau penyakit Apthae epizootica (AE)
Penyebab: virus ini menular melalui kontak langsung melalui air kencing, air susu, air liur dan benda lain yang tercemar kuman AE.
Gejala: (1) rongga mulut, lidah, dan telapak kaki atau tracak melepuh serta terdapat tonjolan bulat berisi cairan yang bening; (2) demam atau panas, suhu badan menurun drastis; (3) nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan sama sekali; (4) air liur keluar berlebihan.
Pengendalian: vaksinasi dan sapi yang sakit diasingkan dan diobati secara terpisah.
3.  Penyakit ngorok/mendekur atau penyakit Septichaema epizootica (SE)
Penyebab: bakteri Pasturella multocida. Penularannya melalui makanan dan minuman yang tercemar bakteri.
Gejala: (1) kulit kepala dan selaput lendir lidah membengkak, berwarna merah dan kebiruan; (2) leher, anus, dan vulva membengkak; (3) paru-paru meradang, selaput lendir usus dan perut masam dan berwarna merah tua; (4) demam dan sulit bernafas sehingga mirip orang yang ngorok. Dalam keadaan sangat parah, sapi akan mati dalam waktu antara 12-36 jam.
Pengendalian: vaksinasi anti SE dan diberi antibiotika atau sulfa.
4.  Penyakit radang kuku atau kuku busuk (foot rot)
Penyakit ini menyerang sapi yang dipelihara dalam kandang yang basah dan kotor.
Gejala: (1) mula-mula sekitar celah kuku bengkak dan mengeluarkan cairan putih keruh; (2) kulit kuku mengelupas; (3) tumbuh benjolan yang menimbulkan rasa sakit; (4) sapi pincang dan akhirnya bisa lumpuh.

7.2. Pencegahan Serangan
Upaya pencegahan dan pengobatannya dilakukan dengan memotong kuku dan merendam bagian yang sakit dalam larutan refanol selama 30 menit yang diulangi seminggu sekali serta menempatkan sapi dalam kandang yang bersih dan kering.

8.    P A N E N
       8.1.           Hasil Utama
Hasil utama dari budidaya sapi perah adalah susu yang dihasilkan oleh induk betina.
8.2. Hasil Tambahan
Selain susu sapi perah juga memberikan hasil lain yaitu daging dan kulit yang berasal dari sapi yang sudah tidak produktif serta pupuk kandang yang dihasilkan dari kotoran ternak.

9.    PASCA PANEN
       ---
10.  ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA TANAMAN
         10.1.       Analisis Usaha Budidaya
Usaha ternak sapi perah di Indonesia masih bersifat subsisten oleh peternak kecil dan belum mencapai usaha yang berorientasi ekonomi. Rendahnya tingkat produktivitas ternak tersebut lebih disebabkan oleh kurangnya modal, serta pengetahuan/ketrampilan petani yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, penerapan sistem recording, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit. Selain itu pengetahuan petani mengenai aspek tata niaga harus ditingkatkan sehingga keuntungan yang diperoleh sebanding dengan pemeliharaannya.

Produksi susu sapi di dunia kini sudah melebihi 385 juta m2/ton/th dengan tingkat penjualan sapi dan produknya yang lebih besar daripada pedet, pejantan, dan sapi afkiran. Di Amerika Serikat, tingkat penjualan dan pembelian sapi dan produknya secara tunai mencapai 13% dari seluruh peternakan yang ada di dunia. Sementara tingkat penjualan anak sapi (pedet), pejantan sapi perah, dan sapi afkir hanya berkisar 3%. Produksi susu sejumlah itu masih perlu ditingkatkan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di dunia ini.

Untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi maka pengelolaan dan pemberian pakan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan ternak, dimana minimum pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak (terserap) diusahakan sekitar 3,5- 4% dari bahan kering.
10.2. Gambaran Peluang Agribisnis
Usaha peternakan sapi perah keluarga memberikan keuntungan jika jumlah sapi yang dipelihara minimal sebanyak 6 ekor, walaupun tingkat efisiensinya dapat dicapai dengan minimal pengusahaannya sebanyak 2 ekor dengan ratarata produksi susu sebanyak 15 lt/hari. Upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui pembudidayaan sapi perah tersebut dapat juga dilakukan dengan melakukan diversifikasi usaha. Selain itu melakukan upaya kooperatif dan integratif (horizontal dan vertikal) dengan petani lainnya dan instansiinstansi lain yang berkompeten, serta tetap memantapkan pola PIR diatas.

11.  DAFTAR PUSTAKA
      1.   Anonim. [ ]. Pedoman beternak sapi perah. Purwokerto, Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak. 2 hal. (brosur).
2.   Anonim. 1983. Petunjuk cara-cara penggunaan obat-obatan ternak. Samarinda, Dinas Peternakan Kalimantan Timur. 12 hal.
3.   Anonim. 1988. Kondisi peternakan sapi perah dan kualitas susu di pulau Jawa. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 39-40.
4.   Anonim. 1988. Pemerahan, satu faktor penentu jumlah air susu. Swadaya Peternakan Indonesia, (42) 1988: 23-24.
5.   Anonim. 1988. Upaya peningkatan kesejahteraan peternak melalui peningkatan efisiensi produksi. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 16-24.
6.   Bandini, Yusni. 1997. Sapi Bali. Cet 1. Jakarta, Penebar Swadaya. 73 hal.
7.   Church, D.C. 1991. Livestock feeds and feeding. 3 ed. New Jersey, Prentice-Hall, Inc.: 278-279.
8.   Djaja, Willian. 1988. Hidup bersih dan sehat di peternakan sapi perah. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 25-26.
9.   Djarijah, Abbas Sirega. 1996. Usaha ternak sapi. Yogyakarta, Kanisius. 43 hal.
10. Fox, Michael W. 1984. Farm animals: husbandry, behavior, and veterinary practice. Baltimore Maryland, University Park Press: 82-112; 150.
11. Ginting, Eliezer. 1988. Bimbingan dan penyuluhan usaha sapi perah rakyat di Jawa Timur. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 27-33.
12. Hehanussa, P.E. 1995. Rencana induk Life Science Center-Cibinong. Limnotek, 3 (1) 1995: 1-34.
13. Hermanto. 1988. Bagaimana cara penanganan sapi perah pada masa kering? Swadaya Peternakan Indonesia, (42) 1988: 24-25.
14. Nienaber, J.A., et al. 1974. Livestock environment affects production and health. Proceedings of the International Livestock Environment Conference. St. Joseph, American Society of Agricultural Engineers.
15. Pane, Ismed. 1986. Pemuliabiakan ternak sapi. Jakarta, PT. Media: 1-38; 133.
16. Sabrani, M. 1994. Teknologi pengembangan sapi Sumba Ongole. Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: 15-26.
17. Suryanto, Bambang; Santosa, Siswanto Imam; Mukson. 1988. Ilmu Usaha Peternakan. Semarang, Fakultas Peternakan UNDIP. 63 hal.
18. Warudjo, Bambang 1988. Kualitas dan harga susu. Buletin PPSKI, 5 (27) 1988: 34-38.