Laman

Rabu, 27 Maret 2013

MASTITIS PADA SAPI PERAH



Radang ambing (mastitis) pada sapi perah merupakan radang yang bisa bersifat akut, subakut maupun kronis, yang ditandai oleh kenaikan sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai patologis pada kelenjar mammae.
            Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Streptococcus agalactiae (Str. Agalactiae) merupakan bakteri  penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat penurunan produkai susu. Berdasarkan uji sensitifitas terhadap berbagai antibiotik diketahui bahwa sebagian besar S. aureus telah resisten terhadap oksasilin (87,5%) dan eritromisin (71,97%) dan ada beberapa isolate yang juga resisten terhadap tetrasiklin (37,46%), ampisillin (25%) dan gentamisin (21,87%) (Salasia dkk, 2005).
            Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting (sphincter puting). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi kuman. Pada dasarnya, kelenjar mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan, sehingga air susu tetap steril. Perangkat pertahanan yang dimiliki oleh kelenjar mammae, antara lain : perangkat pertahanan mekanis, seluler dan perangkat pertahanan yang tidak tersifat (non spesifik).
            Tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai titik terendah saat sesudah pemerahan, karena sphincter  masih terbuka  beberapa saat, sel darah putih,  antibodi serta  enzim juga habis, ikut terperah.                   
            Pencegahan terhadap mastitis ditempuh melalui  dipping  puting sehabis pemerahan dengan antiseptika, antara lain: alkohol 70 %, Chlorhexidine 0,5%, kaporit 4% dan Iodophor 0,5 – 1% (Subronto dan Tjahadjati, 2001).
            Sebagaimana antibiotik, antiseptika juga bisa menyebabkan resistensi bakteri, sehingga perlu dipikirkan alternatif pemecahan guna mengatasi mastitis dengan antibiotik alami yang diekstrak dari tanaman, seperti Aloe barbadensis Miller, yang aman, tanpa menimbulkan resistensi bakteri dan residu antibiotik dalam susu, baik sebagai olesan pada puting maupun bentuk infusi intramammae.    
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan  perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa pada sapi, mastitis sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis kuman.
            Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu,  kualitas dan  kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri sapi perah.   
Faktor Penyebab Mastitis
Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau domba bersifat menurun. Gen- gen yang menurun akan menentukan ukuran dan  struktur puting (Swartz, et al., 2006)      
Sori et al (2005) menyatakan bahwa  saat periode kering adalah saat awal  kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing.
Dinyatakan lebih lanjut oleh Akoso (1996), bahwa berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain : Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Ditambahkan oleh Swartz (2006) bahwa yeast dan  fungi juga sering menginfeksi ambing, namun biasanya menyebabkan mastitis subklinis.
Hasil penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan susu dengan metode CMTdari 180 ekor  sapi perah lokal Zebu dan persilangan,  prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor (16,11%) merupakan mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis subklinis.    
Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu (Salasia dkk., 2005).
Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak,  meliputi : bentuk ambing, misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar (Subronto, 2003).
Bentuk  puting,  ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al (2005)  menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%.     
Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya.  Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06%  (Sori et al., 2005)
Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna (Subronto, 2003).
Faktor bangsa sapi bisa mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan oleh Sori et al ( 2005), bahwa kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih besar dari pada sapi lokal.
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi : pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi jelek, mastitis mencapai 87,5%, ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Sori et al., 2005).
Staphylococcus aureus
            Brooks (2005), menyatakan bahwa Staphylococcus adalah bakteri gram positif, bentuk kokus dengan susunan berpasangan atau bergerombol, seperti anggur. Bersifat aerobik atau anaerobik fakultatif, katalase positif, oksidase negatif, bersifat non motil, tidak membentuk spora.  Staphylococcus tumbuh dengan cepat pada beberapa tipe media dan aktif melakukan metabolisme serta melakukan fermentasi karbohidrat. Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam pigmen, dari warna putih hingga kuning gelap.
            Staphylococcus aureus mayoritas ditemukan di berbagai tempat pada tubuh ternak, antara lain : kelenjar mammae yang terinfeksi, saluran puting, lesi-lesi pada puting, kulit puting, vagina, cekung hidung dan moncong. Pada kulit puting yang sehat, tidak ditemukan bakteri ini, tetapi bakteri ini mudah masuk ke saluran puting lewat luka dekat puting. Organisme ini bermultiplikasi pada lesi-lesi, berkolonisasi dalam saluran puting dan memasuki kelenjar mammae (Jones, 1998).
            Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab utama mastitis pada sapi dan kejadian mastitis sering diasosiasikan dengan infeksi S. aureus. Bakteri ini sering menyebabkan mastitis subklinis dan kronis. Diantara 56 ekor sapi perah di peternakan sapi perah Baturaden, 41 ekor (73,2%) menderita mastitis subklinis dan 9,1 % diantaranya disebabkan oleh S. aureus (Salasia dkk., 2005). Ditambahkan oleh Wahyuni dkk (2005), bahwa kejadian mastitis subklinis di Indonesia sangat tinggi, yaitu sebesar 95-98% dan banyak menimbulkan kerugian.
            Staphylococcus yang patogen sering menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma dan menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler dan toksin. Staphylococcus  cepat menjadi resisten terhadap beberapa antimikroba dan hal ini merupakan masalah besar pada terapi (Brooks,  2005).

Gejala Klinis
            Subronto (2003) menyatakan bahwa secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, seperti : pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae.
Cara penularan
            Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari  kuarter terinfeksi ke kuarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat (Jones, 1998).
Diagnosis
            Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus (Akoso, 1996). Subronto (2003) menambahkan diagnosis mastitis bisa dilakukan dengan Whiteside Test.
Kontrol
            Jones (1998) mengemukakan bahwa guna mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain :
  • Meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting.
  • Air susu pancaran pertama saat pemerahan ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan (Sutarno, 2000). 
  • Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan β-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.
Pengobatan
            Lay dan Hastowo (2000) menyatakan bahwa sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap penicillin disebabkan oleh adanya β- laktamase yang akan menguraikan cincin β- laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan : Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol.
            Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan (Swartz, 2006)
            Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin (Sori et al., 2005)
            Dinyatakan oleh Wall (2006), bahwa strategi efektif untuk mencegah dan mengatasi mastitis yang disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih sukar dipahami. Dilaporkan oleh Soeripto (2002), bahwa bakteri Staphylococcus sp dan Streptococcus sp yang diisolasi dari kasus mastitis sapi telah banyak yang multi resisten terhadap beberapa antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi mastitis juga telah banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu mengandung residu antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
            Dilaporkan oleh Wahyuni dkk (2005), bahwa akibat penggunaan antibiotik pada setiap kasus mastitis, yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi pengolahan susu. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri gram positif juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya pencegahan dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri.
            Middleton dan Foxt (2001) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammaria dengan  120 ml,  5%  Povidone-Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembali pada laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5 ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi dengan Chlorhexidine  ternyata mengandung residu antibiotik.

1 komentar:

  1. maaf, alangkah lebih baiknya bila daftar pustka nya juga ikut di tampilkan..

    BalasHapus